Tampilkan postingan dengan label artikel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label artikel. Tampilkan semua postingan

Kamis, 22 Desember 2016

Tentang Menjadi Seorang Ibu

TENTANG MENJADI SEORANG IBU
Oleh Maufiroh


Semoga segera diberi momongan ya..”,
begitulah kiranya ketika mengetahui ada pasangan yang baru menikah.
Peran menjadi seorang ibu sangat dihargai oleh budaya Indonesia. Menjadi seorang ibu bagi perempuan Indonesia dinilai sebagai kodrat. Terbukti dengan banyaknya tradisi yang diterapkan kepada perempuan sejak memasuki usia kehamilan hingga bayi baru lahir. Menjadi seorang ibu adalah peran yang sangat diidamkan, perempuan harus melalui proses yang kompleks dan tidak mudah. Meskipun dirasa tidak mudah, tetapi ada rasa bahagia bagi perempuan yang telah menyadang gelar sebagai seorang ibu.
Seberapa sulitkah menghadapi tantangan menjadi seorang ibu?
Menurut teori keperawatan, proses menjadi seorang ibu merupakan sebuah proses di mana perempuan untuk mencapai rasa nyaman, menjalankan peran, dan mengakui dirinya sebagai seorang ibu (Mercer, 2004). Secara teori, perempuan harus melalui 4 tahapan untuk mencapai sebuah identitas sebagai seorang ibu. Keempat tahap tersebut, yaitu antisipatori, formal, informal, personal (Mercer, 2006). Tahap antisipatori dilalui sejak memasuki usia kehamilan, ditandai dengan munculnya rasa kasih sayang pada calon bayi, mengidamkan, dan membayangkan bayi yang akan lahir kelak. Tahap formal, informal, dan personal dialami sejak kelahiran bayi hingga 1 tahun setelah kelahiran. Masa puncak perempuan untuk mencapai identitas dirinya sebagai ibu berada pada masa formal-informal, yaitu 0-4 bulan setelah melahirkan. Pada masa ini,terdapatbegitu banyak tantangan yang harus dihadapi perempuan untuk mencapai identitas dirinya sebagai seorang ibu.

Beberapa tantangan yang dihadapi perempuan terdiri atas faktor internal dan eksternal. Faktor internal terdiri dari: usia, pengalaman melahirkan, karakter personal, konsep diri, dan status kesehatan. Sedangkan faktor eksternal terdiri dari: temperamen bayi, pemisahan diri dari bayi, dan dukungan sosial. Berdasarkan hasil penelitian, semua faktor tersebut mempengaruhi kesiapan perempuan untuk menjadi seorang ibu.

Menurut Eshbaugh, Lempers, & Luze (2006), perempuan remaja mengalami kesulitan dalam mencapai peran ibu karena memiliki pengalaman dan sumber yang terbatas. Selain itu, bagi perempuan yang pertama kali menjadi ibu (primipara) juga mengalami kesulitan dibandingkan dengan perempuan yang telah memiliki anak (multipara) karena pengalaman dalam merawat bayi (Cinar & Ozturk, 2014). Namun, penelitian menemukan bahwa perempuan primipara memiliki kepedulian yang lebih tinggi terhadap perawatan bayi (Afiyanti, et al, 2006).

Karakter empati pada perempuan penting dalam proses menjadi seorang ibu. Hal tersebut menunjukkan adanya kepedulian perempuan terhadap bayinya. Sedangkan karakter yang mudah gelisah dan cemas berlebihan akan menjadi lebih sulit dalam beradaptasi saatmemainkan peran barunya sebagai ibu (Murray & McKinney, 2014). Selain itu, perempuan dengan kesehatan yang buruk juga sangat berpengaruh terhadap kedekatannya dengan bayi dan akan memperlambat proses transisi menjadi seorang ibu (Mercer, 1977).

Selain faktor internal, faktor eksternal juga turut memengaruhi proses adaptasi perempuan menjadi seorang ibu. Salah satunya adalah dukungan sosial. Dukungan sosial adalah sejumlah bantuan yang dirasakan dan terdapat orang-orang yang menyediakan bantuan tersebut. Dukungan sosial dapat berupa emosional, informasional, fisik, dan penghargaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kekuatan dukungan sosial berpengaruh pada pencapaian kemampuan peran menjadi ibu, terlebih pada kondisi perempuan yang berisiko tinggi (Jirapaet, 2001). Banyak jugahasil penelitian yang menunjukkan bahwa dukungan suami yang baik dapat meningkatkan kepuasan perempuan menjadi seorang ibu dan merasa lebih mudah menjalani transisi peran, menikmati kebersamaan dengan bayi dan stress berkurang (McVeigh & Smith, 2000). Selain dukungan suami, dukungan dari ibu dan anggotakeluargalainnya juga berpengaruh terhadap peningkatan kompetensi menjadi ibu, khususnya ibu primipara.

Banyak sekali tantangan yang harus dihadapi oleh perempuan untuk sukses beradapatasi terhadap peran barunya, khususnya bagi perempuan yang baru pertama kali menjalani peran sebagai seorang ibu. Oleh karena itu, dukungan sosial adalah aspek yang sangat dibutuhkan oleh perempuan dalam menjalani masa transisi ini, khususnya dukungan dari suami dan keluarga. Menjadi seorang ibu yang baik adalah perempuan yang tidak hanya mampu peduli pada bayinya, tapi juga peduli terhadap kesehatan dirinya.

Selamat Hari Ibu! J

Referensi
Afiyanti, Y., Rachmawati, I. N., & Nurhaeni, N. (2006). Perbedaan Kepedulian Maternal Antara Ibu Primipara dan Ibu Multipara Pada Awal Periode Post Partum. Jurnal Keperawatan Indonesia, 10(2), 54–60.
Cinar, I. O., & Ozturk, A. (2014). The Effect of Planned Baby Care Education Given to Primiparous Mothers on Maternal Attachment and Self-Confidence Levels. Health Care for Women International, (3), 320–333. http://doi.org/http://dx.doi.org/10.1080/07399332.2013.842240
Jirapaet, V. (2001). Factors affecting maternal role attainment among low-income, Thai, HIV-positive mothers. Journal of Transcultural Nursing : OfficialJournal of the Transcultural Nursing Society / Transcultural NursingSociety, 12(1), 25–33. http://doi.org/10.1177/104365960101200104
McVeigh, C., & Smith, M. (2000). A comparison of adult and teenage mother’s self-esteem and satisfaction with social support. Midwifery, 16(4), 269–276. http://doi.org/10.1054/midw.2000.0226
Mercer, R. T. (1977). Postpartum : Illness Acquaintance- Attachment. The American Journal of Nursing, 77(7), 1174–1178. Retrieved fromwww.jstor.org/stable/3461797
Mercer, R. T. (2004). Becoming a mother versus maternal role attainment. Journal of Nursing Scholarship, 36(3), 226-232.
Mercer, R. T. (2006). Nursing Support of the Process of Becoming a Mother. Journal of Obstetric, Gynecologic, & Neonatal Nursing, 35(5), 649–651. http://doi.org/10.1111/j.1552-6909.2006.00086.x

Murray, S.S & McKinney, E.S. (2014). Foundations of Maternal-Newborn and Women's Health Nursing, 6th Ed. United States of America, Elsevier, Inc.

Minggu, 20 November 2016

Atraumatic Care bagi Anak yang Mengalami Hospitalisasi



oleh Faiqa Himma Emalia



Menilik dari pengalaman penulis ketika praktik di bangsal anak sebuah rumah sakit rujukan nasional, saya dapat merasakan betapa lelahnya menjadi orang tua, terutama ketika anak sedang sakit dan mengalami hospitalisasi (menjalani rawat inap di rumah sakit). Seringkali saya temui, orang tua begitu kewalahan mengurus anaknya yang sedang sakit. Di rumah sakit, anak cenderung tidak toleran, kurang kooperatif, susah dibujuk, sensitif, merasa ketakutan, tidak mudah beradaptasi, dan rewel. Orang tua tentu tertekan karena di satu sisi khawatir kondisi anaknya memburuk, di sisi lain mereka bingung bagaimana cara terbaik menghadapi anaknya. Beberapa orang tua mungkin memiliki resiliensi yang baik sehingga tetap tenang menghadapi anak yang sedang mendapatkan terapi medis. Namun, ada juga orang tua yang mengekspresikan kegelisahannya dengan ikut menangis, panik, dan bahkan ada yang memarahi anak yang sulit dikontrol selama menjalani terapi medis. Reaksi yang tidak tepat justru semakin membuat anak merasa terancam dan tidak mudah menerima lingkungan rumah sakit.




Perubahan sikap anak ketika menjalani perawatan di rumah sakit/pelayanan kesehatan adalah hal lumrah dan seringkali terjadi. Anak usia pra sekolah mudah mengalami trauma selama proses hospitalisasi karena mereka masih belum memiliki kemampuan adaptasi sebaik orang dewasa. Ketidakmampuan anak untuk beradaptasi dengan proses perawatan dan lingkungan rumah sakit akhirnya membuat anak sering mengalami ketakutan, marah, tidak berdaya, dan tidak terkontrol (Kyle, 2008). Jika ditelisik dampak jangka panjang, kecemasan dan ketakutan anak yang tidak teratasi selama proses hospitalisasi akan memperpanjang lama perawatan dan proses penyembuhan. 

Lalu, bagaimana cara menghindari atau setidaknya mengurangi trauma pada anak sehingga anak dapat lebih kooperatif dalam menjalani perawatan di rumah sakit? Apa saja yang bisa dilakukan orang tua agar anak mudah beradaptasi dengan lingkungan rumah sakit? 
Masalah trauma pada anak selama proses hospitalisasi dari masa ke masa akhirnya menjadi perhatian segenap ilmuwan dan jajaran tenaga kesehatan. Sampai akhirnya, muncul teori atraumatic care yang digagas oleh Donna Wong, pakar pediatric nursing. Atraumatic care adalah perawatan terapeutik yang meminimalkan distress fisik maupun psikologis yang dialami anak beserta keluarga di pelayanan kesehatan (Whaley & Wong, 1995; Hockenberry, 2005). Telah banyak penelitian yang menguji hubungan antara atraumatic care dengan kondisi psikologis anak ketika mengalami hospitalisasi. Salah satunya adalah penelitian oleh Rini, Sari, dan Rahmawati (2013) yang menemukan bahwa penerapan atraumatic care di rumah sakit secara signifikan menurunkan kecemasan anak yang mengalami hospitalisasi.  

Penguasaan teknik atraumatic care menurut penulis adalah hal yang esensial bagi seluruh tenaga kesehatan yang berinteraksi dengan anak. Pendapat ini dilatarbelakangi berbagai observasi dan penelitian yang membuktikan bahwa penerapan teknik atraumatic care akan memberikan peluang besar bagi anak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang holistik tanpa mencederai kondisi psikologisnya. Praktik atraumatic care ini akan semakin memberikan hasil yang bermakna jika orang tua turut terlibat. Adapun beberapa cara agar orang tua terlibat aktif dalam atraumatic care adalah sebagai berikut:
Pertama, be knowledgeable, be informed. Orang tua perlu mengetahui dan memahami kondisi anak secara berkelanjutan. Jika orang tua merasa ada informasi yang kurang dipahami, jangan ragu-ragu untuk meminta penjelasan pada tenaga kesehatan, baik perawat maupun dokter penanggung jawab anak. Ketika orang tua telah mengetahui kondisi anaknya dengan baik, orang tua tidak akan mudah cemas dan memahami atau menerima kondisi anak. Selain itu, dengan orang tua memahami kondisi anak, orang tua dapat memenuhi kebutuhan anak secara spesifik. Seharusnya, dalam atraumatic care, tenaga kesehatan memang memiliki tanggung jawab untuk memberikan edukasi kepada keluarga tentang kondisi anak, serta cara perawatannya. Jadi, jika orang tua merasa tidak cukup terinformasikan mengenai kondisi anak, orang tua dapat secara asertif meminta tenaga kesehatan untuk menjelaskan hal yang dibutuhkan. Terkadang, keaktifan orang tua dapat menjadi evaluasi bagi tenaga kesehatan untuk memberikan pelayanan yang lebih baik.

Kedua, orang tua perlu secara aktif terlibat dalam pengambilan keputusan. Poin kedua ini tidak lepas dari poin pertama. Jika orang tua telah memahami kondisi anak dengan baik melalui penjelasan tenaga kesehatan, maka orang tua dapat terlibat aktif dalam pengambilan keputusan setiap perawatan. Konsep atraumatic care merekomendasikan tenaga kesehatan untuk menghindari tindakan-tindakan invasif yang tidak esensial (Kyle, 2008). Jadi, betapa baiknya jika orang tua dan tenaga kesehatan saling berdiskusi terkait perencanaan perawatan dan prosedur yang akan diberikan pada anak. Misalnya, apa saja pemeriksaan fisik yang diperlukan, apa saja jenis obat yang diberikan, apa saja tindakan invasif yang hendak dilakukan pada anak. Jika ada beberapa tindakan invasif yang akan dilakukan pada anak, diskusikan kepada tenaga kesehatan apakah tindakan tersebut tidak dapat diganti dengan prosedur lain yang tidak invasif? Atau, apakah tindakan tersebut memang harus dilakukan? Tenaga kesehatan sendiri berkewajiban untuk memilah dan memilih prosedur invasif yang efektif dilakukan pada anak. Misalnya, pengambilan darah untuk pemeriksaan laboratorium perlu ditinjau dengan jeli sehingga pengambilan darah tidak dilakukan berulang-ulang kali. 

Ketiga, jangan sampai anak sendirian tanpa ada anggota keluarga yang menemani. Jika memang orang tua harus meninggalkan rumah sakit karena keperluan tertentu, pastikan ada anggota keluarga lain yang menemani. Perpisahan anak dengan keluarga di lingkungan rumah sakit akan menjadi hal yang mengancam bagi anak. Anak merasa bahwa lingkungan rumah sakit merupakan penyebab terpisahnya ia dengan dukungan sosialnya. Keberadaan orang tua di samping anak juga diperlukan ketika tenaga kesehatan melakukan prosedur perawatan.. Misalnya, saat anak akan mendapatkan prosedur injeksi atau suntik, orang tua perlu menemani anak agar anak merasa lebih tenang. Pada saat prosedur ini dilakukan, orang tua dapat memeluk dan membelai anak sehingga perawat dapat dengan mudah melakukan prosedur. Jika anak mulai menangis, orang tua harus sigap menenangkan, menghindari rasa panik dan simpati berlebihan sampai ikut menangis. Apabila orang tua bersikap tenang, anak pun menjadi tidak cepat gelisah. Jika ada suatu kondisi dimana tenaga kesehatan memisahkan anak dengan orang tuanya, maka orang tua perlu meminta penjelasan alasan pemisahan tersebut dan kapan saja orang tua dapat menemani anak. 



Keempat, dorong anak untuk “bermain” sesuai usianya. Orang tua dapat berdiskusi dengan tenaga kesehatan tentang permainan yang masih bisa dilakukan anak di rumah sakit. Suasana rumah sakit yang monoton dan tidak memiliki sumber hiburan yang adekuat membuat anak sering merasa bosan. Bermain merupakan cara anak untuk menjalin interaksi dengan lingkungannya, sebagai piranti untuk mengekspresikan tidak hanya perasaan cinta atau senang, tetapi juga ansietas dan frustasi (Francischinelli, Almeida, & Fernandes, 2012). Permainan akan memberikan hiburan, waktu luang, dan distraksi yang dibutuhkan untuk perkembangan anak di segala usia. Permainan juga dapat mempengaruhi kondisi anak secara fisik maupun emosional sehingga proses hospitalisasi menjadi less traumatic dan mempercepat proses pemulihan anak. Pada proses hospitalisasi, terdapat permainan yang disebut theraupetic play (TP) yang dideterminasikan sebagai permainan dramatis, instruksional, dan penyokong fungsi fisiologis (Koller, 2008). TP dapat menjadi wadah bagi anak untuk melepaskan ekspresi emosional, perasaan, keinginan, dan pengalaman hidup. Bedasarkan hal tersebut, TP diyakini bermanfaat untuk membentuk komunikasi yang lebih efektif dan memberikan kesempatan bagi anak untuk bermain peran sehingga mereka dapat memahami kondisi lebih baik dan memodifikasi perilakunya (Koller, 2008). Beberapa literatur mengungkap bahwa bermain di rumah sakit/pelayanan kesehatan akan banyak menguntungkan bagi orang tua. Karena melalui permainan, anak dapat memiliki pengalaman yang membuatnya merasa hidup meskipun dalam situasi krisis seperti ketika ia sakit. Contoh dari TP antara lain puppet show atau puppet and doll play. Melalui puppet show, cerita yang dibawakan dapat disusun menjadi cerita menyenangkan yang mengandung pembelajaran dan pengalaman bagi anak sehingga anak tidak hanya merasa terhibur, tetapi juga membentuk perilaku yang lebih baik. Aktivitas lainnya bagi anak untuk mengurangi kejenuhannya adalah mewarnai, membuat keterampilan, bernyanyi bersama, dan lain sebagainya. Permainan dan aktivitas tersebut dapat dimodifikasi sesuai dengan usia anak. Tenaga kesehatan dan orang tua sebaiknya saling berdiskusi untuk menentukan permainan/aktivitas terbaik bagi anak.

Pada akhirnya, ketika atraumatic care tidak hanya menjadi tanggung jawab tenaga kesehatan karena ada keterlibatan aktif orang tua dalam prosesnya, maka hasilnya pun tidak hanya berpengaruh terhadap pembentukan perilaku anak yang lebih baik, tetapi juga penurunan beban orang tua dalam merawat anak. Kolaborasi tenaga kesehatan dan orang tua dalam menjalankan atraumatic care tidak hanya menurunkan dampak negatif hospitalisasi terhadap kondisi mental anak, tetapi juga semakin mempercepat proses penyembuhan anak, menurunkan biaya perawatan, serta secara tidak langsung mengurangi beban kerja tenaga kesehatan. Jadi, tidak berlebihan jika saya mengatakan bahwa atraumatic care dan  keterlibatan orang tua dalam atraumatic care menjadi salah satu praktik yang harus diadvokasi dan direvitalisasi di bangsal anak seluruh jajaran pelayanan kesehatan.

Referensi:
Francischinelli, Almeida, & Fernandes. (2012). Routine use of therapeutic play in the care of hospitalized children: nurses' perceptions. Acta Paulista de Enfermagem. 25, 1. doi: http://dx.doi.org/10.1590/S0103-21002012000100004
Furdon, Pfeil, Snow. (1998). Operationalizing Donna Wong's principle of atraumatic care: pain management protocol in the NICU. Pediatric Nurs, 24(4), 336-342
Koller, Donna. (2008). Therapeutic play in pediatric health care: The essence of child life practice. Canada: Child Life Council
Kyle, Terri. (2008). Essentials of pediatric nursing. Baltimore: Wolters Kluwer
Rini, Sari, & Rahmawati. (2013). Hubungan Penerapan Atraumatic Care dengan Kecemasan Anak Prasekolah Saat Proses Hospitalisasi di RSU dr. H. Koesnadi Kabupaten Bondowoso. Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa, 1-8.

Senin, 03 Oktober 2016

Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD): Pentingkah bagi anak?



oleh : Seprinta Eka Wijayanti

Dewasa ini, fenomena Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sedang marak-maraknya, tidak hanya di daerah perkotaan, tetapi juga di daerah pedesaan pun banyak dibuka lembaga pendidikan untuk anak usia dini. Banyaknya pilihan PAUD dengan berbagai macam pilihan program pembelajaran yang sangat menarik membuat ayah dan ibu kebingungan untuk memilih PAUD yang bagus untuk anak. Sebenarnya bagaimana memilih PAUD yang baik bagi anak? Apa pengaruh PAUD bagi perkembangan anak? Dan seberapa pentingkah PAUD bagi anak? Mari kita simak ulasan artikel ini.

Pertumbuhan dan perkembangan anak dimulai sejak terjadinya konsepsi sampai pada berakhirnya masa remaja. Saat anak baru lahir sampai anak memasuki pendidikan dasar, merupakan masa keemasan (golden age/ golden period). Saat inilah otak anak sedang tumbuh dan berkembang dengan pesatnya. Pada masa ini pertumbuhan dan perkembangan otak anak mencapai 80% dari otaknya dimasa dewasa kelak yang hanya mencapai 20% saja (Suyadi, 2010). Pada masa ini otak anak lebih terbuka untuk proses pembelajaran dan pengkayaan, lebih peka terhadap keadaan lingkungan sekitar, dan merupakan masa kritis dalam kehidupan anak kelak yang akan menentukan perkembangan selanjutnya. Apabila masa kritis ini anak tidak memperoleh rangsangan yang tepat dalam bentuk latihan atau proses belajar, maka diperkirakan anak akan mengalami kesulitan pada masa-masa perkembangan berikutnya (Prastiti, 2008).

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak, dan salah satunya adalah pemberian stimulasi. Stimulasi ini merupakan cikal bakal proses pembelajaran pada anak. Stimulasi yang anak dapatkan sejak dini adalah melalui lingkungan sekitar, yaitu melalui bermain, berdiskusi, dan lain-lain. Lingkungan pertama yang akan membentuk perkembangan anak adalah lingkungan keluarga dan kemudian lingkungan pendidikan, baik pendidikan formal maupun nonformal.

Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) merupakan salah satu bentuk alternatif dalam proses pemberian stimulasi kepada anak. Salah satu fungsi dari PAUD adalah untuk mengembangkan seluruh kemampuan yang dimiliki anak sesuai dengan tahap perkembangannya dan mengembangkan sosialisasi anak. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional berkaitan dengan Pendidikan Anak Usia Dini tertulis pada pasal 28 ayat 1 yang berbunyi “Pendidikan Anak Usia Dini diselenggarakan bagi anak sejak lahir sampai dengan enam tahun dan bukan merupakan prasyarat untuk mengikuti pendidikan dasar”. Selanjutnya pada Bab I pasal 1 ayat 14 ditegaskan bahwa Pendidikan Anak Usia Dini adalah suatu upaya pembinanaan rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut (Depdiknas, 2004). Terlihat begitu pentingnya peran PAUD dalam tumbuh kembang dan pembentukan pribadi anak kelak. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Seprinta Eka (2013) di TK At Taqwa Kecamatan Kalisat, Kabupaten Jember didapatkan bahwa anak yang sebelumnya mengikuti PAUD memiliki perkembangan sesuai sebesar 93,75% sedangkan anak yang sebelumnya tidak mengikuti PAUD memiliki perkembangan sesuai sebesar 55%.

Satuan PAUD dibedakan menjadi pendidikan formal dan pendidikan non formal. Yang merupakan jalur pendidikan formal adalah Taman Kanak-kanak (TK) dan Raudhatul Athfal (RA) yang menyelenggarakan program pendidikan bagi anak usia 4-6 tahun. Kegiatan ini dilaksanakan  minimal 6 hari dalam seminggu dengan jam layanan minimal 2,5 jam per hari. Yang merupakan jalur pendidikan nonformal adalah Kelompok Bermain (KB) dan Taman Penitipan Anak (TPA). Sasaran program Kelompok Bermain ini diprioritaskan bagi anak usia 2-4 tahun, sedangkan untuk Taman Penitipan Anak bagi anak sejak usia lahir sampai dengan usia 6 tahun.

Untuk kurikulum PAUD cenderung dititikberatkan pada permainan, karena pada hakikatnya masa kanak-kanak adalah masa bermain. Menurut Catron dan Allen (1999) berpendapat bahwa tujuan pengembangan kurikulum yang utama adalah untuk mengoptimalkan perkembangan anak secara menyeluruh serta terjadinya komunikasi interaktif. Kurikulum bagi anak usia dini haruslah memfokuskan pada perkembangan yang optimal pada seorang anak melalui lingkungan sekitarnya yang dapat menggali berbagai potensi tersebut melalui permainan serta hubungan dengan orang tua atau orang dewasa lainnya.

Berikut ini beberapa tips dan faktor yang perlu diperhatikan sehingga dapat mebantu ayah ibu untuk dapat memilih PAUD yang tepat bagi anaknya :
Kualitas Guru
Guru PAUD harus bisa merangsang rasa ingin tahu anak dan mulai menanamkan hal-hal positif.
Jumlah Guru
Jumlah antara guru dan murid harus proporsional. Setidaknya dalam satu kelas terdapat 2 guru yang dapat membantu anak selama proses pembelajaran.
Sarana dan Fasilitas
Bangunan yang mewah bukan merupakan tolak ukur sekolah yang baik, yang terpenting adalah kebersihan, keamanan serta sarana dan fasilitas yang sesuai dengan kebutuhan anak.
Lokasi Sekolah
Pilih lokasi sekolah yang tidak terlalu jauh agar anak tidak terlalu capek
Kurikulum Sekolah
Tiap sekolah menawarkan kurikulum menarik yang berbeda-beda. Pilihlah sekolah dengan tujuan kurikulum yang sesuai dengan tujuan pendidikan bagi anak
Metode dan Program
Program dan beban belajar yang diberikan harus sesuai dengan karakter dan kemampuan anak. Sebaiknya pilih sekolah yang menekankan pada proses pembelajaran, bukan pada nilai atau hasil akhir.

Sekolah bagus dan mahal bukanlah jaminan untuk anak pasti berhasil dan sukses. Kunci dalam memilih PAUD yang bagus untuk anak adalah memilih sekolah yang sesuai dan bias menjadi fasilitator dalam menstimulasi perkembangan anak, baik fisik, kognitif, emosi, social, dan kemampuan berbahasa.

REFERENSI
Anonim. (2012). Tips Memilih Sekolah KB/ TK yang Bagus Untuk Anak. Diakses dari http://www.bayiku.org/pendidikan-anak/tips-memilih-sekolah-kb-tk
Eka, Seprinta. (2013). Perbedaan Perkembangan Anak TK Yang Sebelumnya Mengikuti PAUD Dan Tidak Mengikuti PAUD Di TK AT-Taqwa Kecamatan Kalisat Kabupaten Jember, Karya Tulis Ilmiah.Poltekkes Kemenkes Malang.
Pratisti, Wiwien. (2008). Psikologi Anak Usia Dini. Jakarta: Indeks
Seefeldt, Carol dan Barbara A. Wasik. (2008). Pendidikan Anak Usia Dini Edisi Kedua. Jakarta: Indeks
Sujiono, Yuliani Nurani. (2012). Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Indeks
Suyadi. (2010). Psikologi belajar PAUD. Yogyakarta: Pedagogia